Dugaan Korupsi, Kantor Bawaslu Seruyan Digeledah Penyidik Kejati Kalteng
PALANGKA RAYA – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Tengah menggeledah Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Seruyan terkait dugaan korupsi dana hibah tahun anggaran 2024, Selasa 29 Oktober 2024.
“Kami melakukan upaya paksa berupa penggeledahan dan penyitaan terhadap dokumen-dokumen untuk membuat terang perkara ini,” kata Kasi Penyidik Pidana Khusus Kejati Kalteng, Eko Nugroho.
Dalam penggeledahan yang berlangsung sekitar empat jam tersebut, tim penyidik menyita empat kontainer atau boks yang berisi bukti pertanggungjawaban dan satu unit komputer. Penggeledahan tersebut disaksikan Ketua Bawaslu Seruyan dan Camat setempat.
Dalam proses penggeledahan Tim penyidik dibackup oleh intelijen Kejaksaan Negeri Seruyan, Polres Seruyan, dan seksi pidana khusus Kejari Seruyan dan tim auditor dari Kejati Kalteng.
“Kami hanya menggeledah dan menyita barang bukti yang nanti akan kita gunakan sebagai alat bukti surat dan sebagai bahan perhitungan kerugian negara,” ujar Eko.
Dari hasil penggeledahan tersebut, penyidik akan akan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dan mendalami peran masing-masing untuk memperkuat pembuktian.
Sebelumnya, Kejati Kalteng telah menetapkan tiga tersangka yakni HI (45) selaku Pejabat Pembuat Komitmen, IWI (45) selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu, dan KH (33) selaku Operator Keuangan.
Ketiganya telah ditahan di Rutan Kelas IIA Palangka Raya setelah menjalani pemeriksaan selama enam jam pada Senin 28 Oktober 2024.
Diketahui, dana hibah yang diduga dikorupsi tersebut berasal dari anggaran penyelenggaraan Pilkada yang dicairkan dalam dua tahap – Rp 5,03 miliar pada Desember 2023 dan Rp 7,54 miliar pada Juni 2024.
Dana yang diselewengkan tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Modus operandi yang digunakan ketiga tersangka diduga melibatkan pengajuan pencairan anggaran Bawaslu. Dimana KH, menggunakan akun BRI Cash Management System (CMS) milik IWI, membuat pengajuan pencairan dana, kemudian menggunakan akun PPK milik HI untuk memverifikasi pengajuan tersebut.
Kemudian Tersangka KH meminta kode OTP dari HI dengan alasan ada pembayaran mendesak. Tanpa verifikasi, HI memberikan kode OTP tersebut sehingga dana dapat dicairkan ke rekening pribadi KH.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20/2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.










Tinggalkan Balasan